Bertepatan dengan hari kematian istriku juga ulang tahun penyebab kematian Claudia, aku mulai melihat kembali foto-fotoku saat bersama Claudia. Foto kami saat bermain musik bersama, bulan madu bersama, juga saat merayakan ulang tahun bersama. Sungguh aku ingin mengulang masa-masa bersamamu lagi, Claudia.
Selain itu, ku buka catatanku berisi curahan hatiku saat aku telah kehilangan dirimu, Claudia. Curahan hati yang sangat dalam menggambarkan seluruh isi dalam seluk beluk hati dan fikiranku. Aku menggambarkannya di dalam sepedih-pedihnya bait-bait elegi, walaupun sebenarnya apa yang kurasakan tak dapat tergambarkan oleh kata-kata hasil dari ukiran sebuah pena. Simaklah curahan hatiku ini, Claudia…!
Untuk Claudia
Seandainya engkau tahu, betapa selalu indah saat kau ada di sampingku. Seandainya ku kan tahu betapa cepatnya engkau harus pergi dari hidupku. Aku takkan ragu, takkan ragu tuk menikah sejak awal cerita kita. Namun kini engkau pergi, tinggal aku berkasih dengan bayangmu.
Mengapa kau tega tinggalkan ku sendiri di sini? Engkau bahagia di atas langit sana, sedangkan aku merana di atas bumi ini. Engkau mungkin tersenyum di sana, sedangkan aku basah oleh cucuran air mata yang tak kunjung surut ini.
Tapi jika engkau juga sedih melihatku begini, buatlah aku tersenyum lagi. Walaupun jasadmu telah tiada, tapi aku yakin cintamu lah yang akan menjawab pertanyaan dan akan membuatku serasa memelukmu lagi. Apakah aku telah menjadi suami yang terbaik bagimu? Membawamu dari hinanya kesendirian, ke dalam eloknya kebersamaan? Menggandengmu dari kehidupan manja, ke dalam kehidupan romantisme dunia? Membuat tanah gersang di sekelilingmu menjadi padang bunga berisi ribuan kenangan indah yang kita tanam bersama? Jawablah Claudia..!! Jawablah..!! Aku butuh jawabmu agar aku dapat bertahan hidup dalam fanatiknya hidupku. Sekali lagi, jawablah Claudia..!! Tapi jikalau engkau tak dapat menjawabnya sekarang, tunggulah kehadiranku di sampingmu Claudia. Aku akan menyusulmu saat bibirku tak sanggup lagi berbicara, dan tanganku tak dapat lagi memainkan biola juga menulis syair-syair dengan pena usangku. Maka aku akan mendengar jawaban dari pertanyaanku langsung dari bibir manis bekas cumbuanku. Tunggulah aku, Claudia. Tunggulah aku…..
Tanpa sadar, lagi-lagi aku menitihkan air mata. Aku tak dapat lagi mengetahui sudah berapa kalikah aku menangis karenamu Claudia. Apakah aku gila? Ya, aku telah gila karena kehilangan dirimu, Claudia.
***
Saat aku di rumah, Priscilia dirawat oleh ibuku. Aku tak pernah meluangkan waktu untuknya. Hati ini masih menanam dendam karenanya. Aku sangat jarang berbicara dengan Priscilia, aku dapat menghitung pembicaraanku dengannya dengan jari-jariku.
Saat aku ingin berangkat kerja, tiba-tiba datanglah setan kecil itu ke dekatku sambil berkata “A..ayah, mau nggak ayah antar aku ke TK ku? Teman-temanku tak pernah melihatku pergi bersama orang tuaku dan mengganggap aku ini tidak punya orang tua.”
“Maaf, ayah sibuk. Nanti saja!”bentakku
“Tapi, ayah..”
“Ayah bilang nanti saja..!!! Kamu punya telinga, tidak?!!” kataku ketus
“I..iya ayah. Aku mengerti. Maafkan aku ayah.”
“Pergilah sama nenek kamu, daripada membuat ayah susah.”
“Baik, Ayah”. Priscilia pergi dengan wajah tertunduk dan mata berkaca. Apakah aku salah? Ahh, salah atau tidak aku tak peduli. Yang penting dia telah pergi dari hadapanku. Aku tak kuat melihat muka orang penyebab kematian istriku.
0 komentar:
Posting Komentar